Beranda

Tuesday, 6 May 2014

Asuhan Gizi Bedah Digestif

Seorang pasien yang akan menjalani operasi pada saluran pencernaan perlu diperhatikan status gizi sebelum dan sesudah operasi. Hal ini berkaitan dengan kelangsungan dari operasi yang akan dilakukan, ketika pasien tersebut mempunyai status gizi yang tidak mendukung maka perlu dilakukan penundaan sehingga pasien bisa dilakukan operasi pada saat mempunyai status gizi baik. Status gizi baik akan mendukung proses penyembuhan dalam waktu yang lumayan pendek. Untuk pengukuran status gizi pada pasien bedah digestif, indikator yang dapat digunakan adalah Albumin. Manusia mempunyai albumin normal lebih besar 3 mg/dL.
Dalam Seminar Asuhan Gizi Bedah Digestif beberapa waktu lalu di aula RSMH Palembang, selaku pembicara Ibu Triyani Kresnawan, DCN, Mkes, RD (Kepala Instalasi Gizi RSCM Jakarta) menyatakan bahwa pada operasi yang sudah terencana dengan baik, pengaturan gizi Pre OP, bertujuan untuk :
1.    Memenuhi kebutuhan kalori dan protein
2.    Mempertahankan keadaan gizi yang optimal
3.    Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
4.    Memenuhi kebutuhan zat gizi untuk mempercepat penyembuhan luka bekas operasi dan pemulihan keadaan pasien.
Catatan yang perlu diperhatikan adalah ketika memang operasi dilakukan secara mendadak dan darurat bagi kepentingan pasien, maka pengaturan diet tidak perlu dilakukan.

Oleh karena itu, peranan Dietisien/Nutritionist menjadi sangat penting dalam penatalaksanaan gizi pada pasien bedah digestif. Tentu perlu dilakukan suatu kolaborasi antar tim medis. Saat sebelum operasi dilakukan, sebagai upaya “perioperative nutrition”, preskripsi diet pasien diberikan cairang yang jernih dalam 2 jam sebelum prosedur anestesi dilakukan atau makanan padat dalam waktu 6 jam sebelum proses anestesi.
Lebih lanjut, setelah pasien menjalani operasi, asuhan gizi tetap harus dijalankan dan perlu intervensi gizi yang sesuai dengan keadaan pasien. Prinsip pemberian makanan pasien pasca operasi bedah digestif, jika dahulu ada istilah bahwa pasien post op dapat diberikan makanan setelah mengalami “platus”. Namun dewasa ini pemberian makanan oral harus sesegera mungkin (early feeding). Preskripsi diet pasien berupa pemberian  per-oral cair jernih yang dapat diberikan setelah 24-48 jam ketika keadaan pasien dalam kondisi stabil.

Intervensi gizi dengan pemberian diet yang sesuai pada pasien pasca operasi bertujuan untuk mengusahakan agar keadaan pasien kembali normal. Selain itu, syarat diet yang dapat diberikan pasca bedah adalah sebagai berikut:
1.    Memberikan makanan secara bertahap : makanan cair ke makanan saring, lunak dan biasa, tergantung dari macam pembedahan :
Pasca-operasi kecil/minor : Makanan diusahakan secepat mungkin kembali seperti biasa atau normal.
Pasca-operasi besar/mayor : Makanan diberikan secara berhati-hati disesuaikan dengan kemampuan pasien untuk menerima makanan.
2.    Memenuhi kecukupan zat gizi baik makro (protein, lemak, KH) dan mikro nutrient (vitamin dan mineral)
3.    Bentuk makanan disesuaikan dengan kemampuan penderita
4.    Menghindari makanan yang merangsang (pedas, asam, mengandung gas)
5.    Suhu makanan lebih baik bersuhu dingin (tidak dalam keadaan panas)
6.    Pembagian porsi makanan sehari diberikan sesuai dengan kemampuan dan kebiasaan makan penderita.

Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Menurut Buku Penuntun Diet, Almatisier (2004), ada berbagai macam jenis diet pasca bedah. Antara lain sebagai berikut :
1.    Diet Pascabedah I (DPB 1)
Diet ini dapat diberikan kepada semua pasien pasca bedah :
a.    Pasca bedah minor : setelah sadar atau rasa mual hilang
b.    Pascabedah mayor : setelah sadar dan rasa mual hilang serta ada tanda-tanda usus sudah mulai bekerja (kebisingan usus).
Cara Memberikan makanan dalam diet ini yaitu dalam waktu 6 jam sesudah pembedahan, makanan yang diberikan berupa cair jernih antara lain : air putih, teh manis, atau cairan lain. Dilakukan secara per-oral dalam waktu sesingkat mungkin (early feeding). Selain itu diberikan Makanan Parenteral dapat diberikan sesuai kebutuhan dan kondisi pasien.
2.    Diet Pascabedah II (DPB II)
Diet pascabedah II diberikan kepada pasien pasca bedah mayor saluran cerna atau sebagai perpindahan dari DPB I. Makanan diberikan dalam bentuk cair kental, berupa kaldu jernih, sirup, sari buah, sup, susu, dan pudding rata-rata 8-10 kali sehari selama pasien dalam kondisi sadar dan tidak tidur.
Jumlah cairan yang diberikan tergantung keadaan dan kondisi pasien. Selain itu dapat diberikan Makanan Parenteral bila diperlukan. DPB II diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena zat gizinya kurang. Jenis makanan berupa makanan cair kental dengan pemberian secara berangsur dimulai 50 ml/jam. Makanan yang tidak diperbolehkan pada diet pascabedah II adalah air jeruk dan minuman yang mengandung karbondioksida. Karena akan mempengaruhi keasaman dalam saluran pencernaan dan terlalu banyak mengandung gas.
3.    Diet Pascabedah III (DPB III)
DPB III diberikan kepada pasien pasca bedah mayor saluran cerna atau sebagai perpindahan dari DPB II. Makanan yang diberikan berupa makanan saring yang dapat ditambahkan susu dan biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2000 ml sehari. Makanan yang tidak dianjurkan untuk DPB III adalah makanan dengan bumbu tajam (terlalu pedas, asin dan banyak mengandung bahan dari rempah-rempah) dan minuman yang mengandung karbondioksida.
4.    Diet Pascabedah IV (DPB IV)
Diet ini diberikan kepada pasien: Pascabedah kecil, setelah DPB IV Pasca bedah mayor, setelah DPB III.  Makanan diberikan berupa Makanan Lunak yang dibagi dalam 3 kali makanan lengkap dan 1/2 kali makanan selingan sesuai dengan perhitungan kebutuhan kalori pasien. Makanan yang diberikan berupa Makanan Lunak. Apabila makanan pokok dalam bentuk bubur atau tim tidak habis, sebagai pengganti diberikan makanan selingan pukul 16.00 dan 22.00 berupa 2 buah biskuit atau 1 porsi pudding dan 1 gelas susu. Makanan yang tidak dianjurkan untuk DPB IV adalah makanan dengan bumbu tajam dan minuman yang mengandung karbondioksida. Faktor makanan yang mengandung rangsangan terdiri atas : mekanis (volume makanan), thermis (suhu) dan osmotik (konsentrasi).

Kebutuhan Zat Gizi Pasien Bedah Digestif
        Untuk menentukan kebutuhan kalori pada pasien bedah dilakukan dengan menghitung kebutuhan energi dengan Berat Badan Aktual dan Berat Badan Ideal. Kebutuhan Energi merupakan penjumlahan antara kebutuhan energi basal/Basal Metabolic Rate (BMR) ditambahkan dengan Aktifitas Fisik (AF) dan Proses Metabolisme Makanan atau Spesific Dynamic Action (SDA). Namun kita bisa mengabaikan faktor SDA karena jumlahnya relatif kecil.

Kebutuhan Energi (Kalori) : BMR x Faktor Aktifitas x Faktor Stress

Rumus BMR (Menggunakan Rumus Harris Benedict, 1919)
Laki-laki         : 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) - (6,8 x U)
Perempuan   :  655 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) - (4,7 x U)

Keterangan :
BB       : Berat badan dalam kg
TB       : Tinggi badan dalam cm
U         : Umur dalam tahun

Faktor Aktifitas Fisik (AF)

Laki-laki
Sangat ringan            : 1,30
Ringan                       : 1,65
Sedang                      : 1,76
Berat                          : 2,10

Perempuan
Sangat ringan            : 1,30
Ringan                       : 1,55
Sedang                      : 1,70
Berat                          : 2,00

Sedangkan berdasarkan patologis dari karakteristik pasien, berikut merupakan faktor stress yang dapat digunakan untuk perhitungan kebutuhan energi :
1.    Puasa sedang    : 0,85 – 1
2.    Pascabedah tanpa komplikasi 1,00 – 1,05
3.    Kanker : 1,10 – 1,45
4.    Infeksi berat/trauma : 1,30 – 1,55
5.    Luka bakar : 1,50 – 1,70


Setelah proses kebutuhan kalori dan pemberian makanan pasien pasca bedah sudah ditentukan dan di berikan kepada pasien. Maka hal yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah monitoring dan evaluasi. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan antara lain :
1.    Toleransi bentuk dan asupan makanan
2.    Cairan lambung yang keluar terkait dengan intake yang akan di masukkan
3.    Keseimbangan cairan elektrolit
4.    Keseimbangan nitrogen (UUN)
5.    Hasil laboratorium terkait dengan operas pascabedah
6.    Kondisi klinis, mual/muntah, diare, ada tidaknya dehidrasi atau retensi cairan
7.    Antropometri pasien (berat badan atau lingkar lengan atas)
8.    Feses dan stol pasien

 Referensi/Daftar Rujukan
1.    Almatsier, S. 2004. Penuntun Diet. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka.
2.    Anggraeni, A.C. 2012. Nutrtional Care Process. Yogyakarta : Graha Ilmu.
3. Fahmida, U dan Dillon, D. 2007. Handbook Nutritional Assessment. Jakarta : SEAMEO TROPMED RCCN.
4. Kresnaswan, T. Terapi Gizi Medis & PAGT Bedah Digestif. Disampaikan pada Seminar Asuhan Gizi Bedah Digestif. DPD Asosiasi Dietisien Indonesia Sumatera Selatan. 4 Mei 2014, Aula RSMH.
5.    Supariasa, IDN, dkk. 2012. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penebit EGC Kedokteran.

 


2 comments:

  1. bg, mau tanya kalau soal perhitungan kebutuhan untuk karbohidrat, protein dan lemak bagaimananya?
    kemudian apakah tindakan bedah ini dimasukkan juga kedalam diet tinggi kalori dan tinggi protein?

    ReplyDelete
  2. ka, mau nanya apa pertimbangannya perhitungan kebutuhan pake Harben bukan pake yang lain?

    ReplyDelete