Seorang
pasien yang akan menjalani operasi pada saluran pencernaan perlu diperhatikan
status gizi sebelum dan sesudah operasi. Hal ini berkaitan dengan kelangsungan dari operasi
yang akan dilakukan, ketika pasien tersebut mempunyai status gizi yang tidak
mendukung maka perlu dilakukan penundaan sehingga pasien bisa dilakukan operasi
pada saat mempunyai status gizi baik. Status gizi baik akan mendukung proses penyembuhan
dalam waktu yang lumayan pendek. Untuk pengukuran status gizi pada pasien bedah
digestif, indikator yang dapat digunakan adalah Albumin. Manusia mempunyai
albumin normal lebih besar 3 mg/dL.
Dalam
Seminar Asuhan Gizi Bedah Digestif beberapa waktu lalu di aula RSMH Palembang, selaku
pembicara Ibu Triyani Kresnawan, DCN, Mkes, RD (Kepala Instalasi Gizi RSCM
Jakarta) menyatakan bahwa pada operasi yang sudah terencana dengan baik,
pengaturan gizi Pre OP, bertujuan untuk :
1. Memenuhi kebutuhan kalori dan protein
2. Mempertahankan keadaan gizi yang optimal
3. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
4. Memenuhi kebutuhan zat gizi untuk mempercepat penyembuhan
luka bekas operasi dan pemulihan keadaan pasien.
Catatan yang perlu
diperhatikan adalah ketika memang operasi dilakukan secara mendadak dan darurat
bagi kepentingan pasien, maka pengaturan diet tidak perlu dilakukan.
Oleh karena itu, peranan
Dietisien/Nutritionist menjadi sangat penting dalam penatalaksanaan gizi pada pasien
bedah digestif. Tentu perlu dilakukan suatu kolaborasi antar tim medis. Saat
sebelum operasi dilakukan, sebagai upaya “perioperative
nutrition”, preskripsi diet pasien diberikan cairang yang jernih dalam 2
jam sebelum prosedur anestesi dilakukan atau makanan padat dalam waktu 6 jam
sebelum proses anestesi.
Lebih lanjut, setelah pasien
menjalani operasi, asuhan gizi tetap harus dijalankan dan perlu intervensi gizi
yang sesuai dengan keadaan pasien. Prinsip pemberian makanan pasien pasca
operasi bedah digestif, jika dahulu ada istilah bahwa pasien post op dapat diberikan makanan setelah mengalami
“platus”. Namun dewasa ini pemberian
makanan oral harus sesegera mungkin (early
feeding). Preskripsi diet pasien berupa pemberian per-oral cair jernih yang dapat diberikan
setelah 24-48 jam ketika keadaan pasien dalam kondisi stabil.
Intervensi gizi dengan
pemberian diet yang sesuai pada pasien pasca operasi bertujuan untuk mengusahakan
agar keadaan pasien kembali normal. Selain itu, syarat diet yang dapat
diberikan pasca bedah adalah sebagai berikut:
1. Memberikan
makanan secara bertahap : makanan cair ke makanan saring, lunak dan biasa,
tergantung dari macam pembedahan :
a Pasca-operasi kecil/minor : Makanan
diusahakan secepat mungkin kembali seperti biasa atau normal.
b Pasca-operasi besar/mayor : Makanan diberikan
secara berhati-hati disesuaikan dengan kemampuan pasien untuk menerima makanan.
2. Memenuhi
kecukupan zat gizi baik makro (protein, lemak, KH) dan mikro nutrient (vitamin dan mineral)
3. Bentuk
makanan disesuaikan dengan kemampuan penderita
4. Menghindari
makanan yang merangsang (pedas, asam, mengandung gas)
5. Suhu
makanan lebih baik bersuhu dingin (tidak dalam keadaan panas)
6. Pembagian
porsi makanan sehari diberikan sesuai dengan kemampuan dan kebiasaan makan
penderita.
Jenis
Diet dan Indikasi Pemberian
Menurut
Buku Penuntun Diet, Almatisier (2004), ada berbagai macam jenis diet pasca
bedah. Antara lain sebagai berikut :
1.
Diet
Pascabedah I (DPB 1)
Diet
ini dapat diberikan kepada semua pasien pasca bedah :
a. Pasca
bedah minor : setelah sadar atau rasa mual
hilang
b. Pascabedah
mayor : setelah sadar dan rasa mual hilang
serta ada tanda-tanda usus sudah mulai bekerja (kebisingan usus).
Cara Memberikan makanan
dalam diet ini yaitu dalam waktu 6 jam sesudah pembedahan, makanan yang
diberikan berupa cair jernih antara lain : air putih, teh manis, atau cairan
lain. Dilakukan secara per-oral dalam waktu sesingkat mungkin (early feeding). Selain itu diberikan
Makanan Parenteral dapat diberikan sesuai kebutuhan dan kondisi pasien.
2.
Diet
Pascabedah II (DPB II)
Diet pascabedah II diberikan
kepada pasien pasca bedah mayor saluran cerna atau sebagai perpindahan dari DPB
I. Makanan diberikan dalam bentuk cair kental, berupa kaldu jernih, sirup, sari
buah, sup, susu, dan pudding rata-rata 8-10 kali sehari selama pasien dalam
kondisi sadar dan tidak tidur.
Jumlah cairan yang diberikan
tergantung keadaan dan kondisi pasien. Selain itu dapat diberikan Makanan
Parenteral bila diperlukan. DPB II diberikan untuk waktu sesingkat mungkin
karena zat gizinya kurang. Jenis makanan berupa makanan cair kental dengan
pemberian secara berangsur dimulai 50 ml/jam. Makanan yang tidak diperbolehkan
pada diet pascabedah II adalah air jeruk dan minuman yang mengandung
karbondioksida. Karena akan mempengaruhi keasaman dalam saluran pencernaan dan
terlalu banyak mengandung gas.
3.
Diet
Pascabedah III (DPB III)
DPB III diberikan kepada
pasien pasca bedah mayor saluran cerna atau sebagai perpindahan dari DPB II.
Makanan yang diberikan berupa makanan saring yang dapat ditambahkan susu dan
biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2000 ml sehari. Makanan yang tidak
dianjurkan untuk DPB III adalah makanan dengan bumbu tajam (terlalu pedas, asin
dan banyak mengandung bahan dari rempah-rempah) dan minuman yang mengandung
karbondioksida.
4.
Diet
Pascabedah IV (DPB IV)
Diet ini diberikan kepada
pasien: Pascabedah kecil, setelah DPB IV Pasca bedah mayor, setelah DPB III. Makanan diberikan berupa Makanan Lunak yang
dibagi dalam 3 kali makanan lengkap dan 1/2 kali makanan selingan sesuai dengan
perhitungan kebutuhan kalori pasien. Makanan yang diberikan berupa Makanan
Lunak. Apabila makanan pokok dalam bentuk bubur atau tim tidak habis, sebagai
pengganti diberikan makanan selingan pukul 16.00 dan 22.00 berupa 2 buah
biskuit atau 1 porsi pudding dan 1 gelas susu. Makanan yang tidak dianjurkan
untuk DPB IV adalah makanan dengan bumbu tajam dan minuman yang mengandung
karbondioksida. Faktor makanan yang mengandung rangsangan terdiri atas :
mekanis (volume makanan), thermis (suhu) dan osmotik (konsentrasi).
Kebutuhan
Zat Gizi Pasien Bedah Digestif
Untuk
menentukan kebutuhan kalori pada pasien bedah dilakukan dengan menghitung kebutuhan
energi dengan Berat Badan Aktual dan Berat Badan Ideal. Kebutuhan Energi
merupakan penjumlahan antara kebutuhan energi basal/Basal Metabolic Rate (BMR)
ditambahkan dengan Aktifitas Fisik (AF) dan Proses Metabolisme Makanan atau
Spesific Dynamic Action (SDA). Namun kita bisa mengabaikan faktor SDA karena
jumlahnya relatif kecil.
Kebutuhan
Energi (Kalori) : BMR x Faktor Aktifitas x Faktor Stress
Rumus
BMR (Menggunakan Rumus Harris Benedict, 1919)
Laki-laki : 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) - (6,8 x U)
Perempuan
: 655 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) - (4,7 x U)
Keterangan
:
BB : Berat badan dalam kg
TB
: Tinggi badan dalam cm
U
: Umur dalam tahun
Faktor
Aktifitas Fisik (AF)
Laki-laki
Sangat
ringan : 1,30
Ringan : 1,65
Sedang
: 1,76
Berat : 2,10
Perempuan
Sangat ringan : 1,30
Ringan
: 1,55
Sedang : 1,70
Berat
: 2,00
Sedangkan berdasarkan patologis dari
karakteristik pasien, berikut merupakan faktor stress yang dapat digunakan
untuk perhitungan kebutuhan energi :
1.
Puasa
sedang : 0,85 – 1
2.
Pascabedah
tanpa komplikasi 1,00 – 1,05
3.
Kanker
: 1,10 – 1,45
4.
Infeksi
berat/trauma : 1,30 – 1,55
5.
Luka
bakar : 1,50 – 1,70
Setelah proses kebutuhan kalori dan pemberian
makanan pasien pasca bedah sudah ditentukan dan di berikan kepada pasien. Maka
hal yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah monitoring dan evaluasi. Dalam
hal ini, yang perlu dilakukan antara lain :
1.
Toleransi
bentuk dan asupan makanan
2.
Cairan
lambung yang keluar terkait dengan intake yang akan di masukkan
3.
Keseimbangan
cairan elektrolit
4.
Keseimbangan
nitrogen (UUN)
5.
Hasil
laboratorium terkait dengan operas pascabedah
6.
Kondisi
klinis, mual/muntah, diare, ada tidaknya dehidrasi atau retensi cairan
7.
Antropometri
pasien (berat badan atau lingkar lengan atas)
8.
Feses
dan stol pasien
Referensi/Daftar Rujukan
1.
Almatsier,
S. 2004. Penuntun Diet. Jakarta :
PT.Gramedia Pustaka.
2.
Anggraeni,
A.C. 2012. Nutrtional Care Process. Yogyakarta
: Graha Ilmu.
3. Fahmida,
U dan Dillon, D. 2007. Handbook
Nutritional Assessment. Jakarta
: SEAMEO TROPMED RCCN.
4. Kresnaswan,
T. Terapi Gizi Medis & PAGT Bedah
Digestif. Disampaikan pada Seminar Asuhan Gizi Bedah Digestif. DPD Asosiasi
Dietisien Indonesia Sumatera Selatan. 4 Mei 2014, Aula RSMH.
5.
Supariasa,
IDN, dkk. 2012. Penilaian Status Gizi. Jakarta
: Penebit EGC Kedokteran.
bg, mau tanya kalau soal perhitungan kebutuhan untuk karbohidrat, protein dan lemak bagaimananya?
ReplyDeletekemudian apakah tindakan bedah ini dimasukkan juga kedalam diet tinggi kalori dan tinggi protein?
ka, mau nanya apa pertimbangannya perhitungan kebutuhan pake Harben bukan pake yang lain?
ReplyDelete